Arsip Tag: Proses Kreatif

Workshop Cipta Lagu Rannisakustik 2018

Workshop 2018

Dimulai sejak 2008, Rannisakustik telah mempercayai musik (lagu) dan bentuk seni lainnya sebagai suatu media dalam menyebarkan gagasan kesetaraan gender dan semangat penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam proses berkarya, karena mengusung suatu gagasan yang di dalam kompleksitas masyarakat kita masih dirasa kurang dalam kesadaran kesetaraan gender, cara yang dipakai adalah melalui workshop.
Di dalam workshop, gagasan dan ide-ide dibicarakan, didiskusikan dan ditimbang sehingga meminimalisir bias-bias yang sangat mungkin muncul. Dari pola berkarya ini, Rannisakustik telah menghasilkan puluhan lagu yang diantaranya sudah direkam dalam format mp3 dan akan segera dirilis secara digital.
Tahun ini, tepatnya pertengahan tahun ini, kami akan kembali melakukan proses workshop cipta lagu. Dan kami sangat terbuka bagi kawan-kawan di luar lingkar Rannisakustik untuk bergabung dan belajar serta berkarya bersama. Tidak masalah jika Anda seoarng musisi yang memiliki kelompok/kolektif sendiri, karena karya Anda tidak akan menjadi hak Rannisakustik secara eksklusif, tetapi tetap menjadi hak pencipta lagu.

Segera daftar dan rasakan pengalaman lain dalam proses mencipta lagu dan bermusik.

Hubungi Jali di WhatsApp 0856 2856 610

Di Balik “Bertanya Apa Itu Cinta”

Sebagaimana ditulis di halaman Tentang Rannisakustik. Awal mula Rannisakustik diprakarsai oleh beberapa orang relawan di lembaga Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta pada akhir 2008. Namun baru pada 2014 Rannisakustik memiliki sebuah album pertamanya.

Apa yang melatarbelakangi kerja-kerja kreatif Rannisakustik—dan tentu saja melatarbelakangi album “Bertanya Apa Itu Cinta”? Tidak lain kesadaran yang diperoleh selama berkutat pada isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahwa, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan persoalan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sementara apa yang diangkat di media massa dipastikan hanya sebagaian kecil saja dari persoalan-persoalan perempuan. Sebagai masalah budaya, kekerasan tentu saja bisa dihentikan manusia sebagai pengampu kebudayaan. Namun dengan perkembangan dunia yang kapitalistik dan patriarkis, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat justru didominasi oleh pikiran dan tindakan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Sekarang di tarik pada minat seni—yang ada pada diri para personel Rannisakustik. Dalam masyarakat modern, seni pop merupakan media hiburan dan sosialisasi nilai-nilai. Bentuk seni yang paling akrab dengan masyarakat adalah lagu. Sebagai aset masyarakat, lagu-lagu dan proses penciptaannya juga tidak lepas dari skema kapitalisasi. Ini yang membuat lagu-lagu menjadi sangat potensial untuk malah melanggengkan nilai-nilai yang patriarkis dan pada gilirannya menerakan ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan.

Dari latar belakang itu, muncullah gagasan Rannisakustik untuk berusaha “mencari kawan”, mengajak lingkaran-lingkaran kreatif lainnya untuk sama-sama berkarya dengan keberpihakan dan pijakan yang lebih jelas pada isu-isu kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan. Muncullah gagasan untuk ber”workshop”. Workshop ini digagas untuk menjawab persoalan kurangnya sosialisasi nilai-nilai dan seruan untuk menghentikan kekerasan pada perempuan dengan bentuk yang lebih variatif. Di masyarakat lagu sebagai produk budaya tidak banyak menginspirasi gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Bahkan lebih banyak lagu yang mengeksploitasi perempuan dan menyuarakan bias gender.

Demi untuk keberhasilan workshop sebagai sebuah upaya mereproduksi dan memperluas pengetahuan akan nilai-nilai kesetaraan, maka disasarlah Peserta workshop dari kalangan aktivis, para pekerja media, dan pemusik. Dengan proses ini diharapkan adanya pertukaran gagasan tentang tema, membuat beberapa lagu dengan tema anti kekerasan terhadap perempuan, dan tindak lanjut berupa sosialisasi lagu-lagu itu ke ranah yang lebih luas. Maka, atas inisiatif Ramses Surobuldog, dirangkullah Forum Pencipta Lagu Muda, yang didalamnya ada banyak pencipta lagu muda dan para pengurus yang penuh semangat. Bulan Maret 2014, Workshop diselenggarakan selama dua hari dengan melibatkan sekitar 20 pencipta lagu baik dari anggota-anggota FPLM, maupun para relawan Rifka Annisa WCC.

Workshop terdiri atas 3 tahapan umum: Yang pertama adalah diskusi dan sharing mengenai persoalan-persoalan perempuan dan kekerasan di berbagai aspek. Moderator tahap ini adalah para aktivis dan konselor dari Rifka Annisa WCC. Kemudian berlanjut pada diskusi kritis atas media populer terutama lagu dalam kaitannya dengan persebaran gagasan anti kekerasan. Di tahap dua ini moderatornya adalah Ramses Surobuldog dengan pengalaman di berbagai kerja produksi media kreativ untuk pemberdayaan. Juga ada Hasta Indriyana, seorang penyair yang memberikan materi tentang efektivitas kata dan kalimat sebagai pembawa pesan. Pada tahap ketiga peserta bersama-sama membuat syair yang berisi seruan anti kekerasan terhadap perempuan, sesuai dengan sudut pandang dan pengalaman yang digali selama sesi diskusi.

Dengan proses bersama dan terbuka ini diharapkan kita dapat melihat persoalan perempuan dari beragam angle dan bagaimana gagasan diejawantahkan dalam kata-kata. Setelah syair terbentuk kemudian dibuat lagu dengan nada-nada yang gampang dinyanyikan dan diingat. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing membuat syair dan lagu bertema anti kekerasan dengan berbagai angle penceritaan.

Setelah jadi, lagu-lagu itu dicatat dan direkam. Pada sesi workshop dua hari itu dihasilkan sekitar 11 lagu, yang pada akhirnya digenapkan menjadi 20 lagu setelah melalui masa proses penyempurnaan oleh masing-masing pencipta lagu. Beberapa pencipta lagu menyumbangkan kreativitas dan semangatnya seperti Ramses Surobuldog, Ahmad Jalidu, Citra Safitri, Niken Anggrek Wulan, Taufik Prasetyo, Nucky Setyawan, Yuga Anggana, Erlina Rahmawati, Alex Dolly, Sanggar Putri, Febri Tembor, Hambar Riyadi, Chito, Nikolas Nino dan Roni Sukma. Proses rekaman dilakukan selama kurang lebih dua bulan di All New Music Studio, Yogyakarta dengan dibantu oleh banyak musisi-musisi muda Jogja, termasuk musisi Giwang Topo yang menyumbangkan desain untuk cover CD “Bertanya Apa Itu Cinta”. (Terima kasih untuk mereka semua).

Sekitar 8 bulan kemudian, tepatnya pada 9 November 2014, Album Bertanya Apa Itu Cinta resmi dirilis di Lembaga Indonesia Perancis. Album ini diluncurkan dengan status Bebas Hak Cipta. Artinya, lagu-lagu tersebut boleh disebarluaskan bahkan diproduksi ulang oleh pihak ketiga. Ini bertujuan untuk meningkatkan jangkauan kampanye nilai-nilai kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan yang memang menjadi tujuan awal pembuatan album ini.

Album pertama ini memang belum memasang nama RANNISAKUSTIK dalam label CD, melainkan masih atas nama Rifka Annisa WCC bekerjasama dengan FPLM dan Rutgers WPF sebagai donatur. Namun, demikian kami menganggap ini adalah album pertama Rannisakustik karena dua hal. Salah satu gagasan awal pembuatan album memang untuk mendorong gerak Rannisakustik sebagai sebuah komunitas yang aktif melengkapi metode kampanye Rifka Annisa. Kedua, dari proses album inilah kemudian bergabung para musisi dan pencipta lagu yang sekarang berdiri sebagai personel di panggung-panggung Rannisakustik.

Kini, pasca meluncurnya album tersebut, pelan-pelan Rannisakustik bergerak lebih luas, tidak sebatas tampil bagi acara-acara internal Rifka Annisa sebagai salah satu sayap divisi Humas Media Rifka Annisa, tetapi mulai membuka diri dan tampil di acara-acara umum dan terbuka sebagaimana layaknya kelompok musik biasa. Meski begitu, Rannisakustik akan tetap menjaga prinsip dan nilai-nilai perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, sebagai sebuah haluan dalam berkesenian. Bagi kami, karya seni yang baik, tentu berpihak pada hidup dan kemanusiaan. 🙂

Ramses Surobuldog & Ahmad Jalidu.